DO'A-DO'A MENJELANG BULAN RAMADHAN
![]() |
Muh. Fahri Munawar |
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّد وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
2. HILAL RAMADHAN ( RUKYATUL HILAL )
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya : “Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu”. (QS. Al-Baqarah [2] : 185).
Ibnu Katsir menyebutkan, ini merupakan hukum wajib bagi orang yang menyaksikan hilal untuk puasa Ramadhan.
Al-Maraghi menjelaskan, siapapun menyaksikan masuknya bulan, dan
kesaksiannya itu melalui melihat hilal tanda masuk bulan (tanggal satu)
atau mengetahui melalui orang lain, maka hendaknya ia berpuasa.
Keterangan hadits mengenai masalah ini sangat banyak, yang tersebut di
dalam Sunnah Nabawi, dan sudah dilaksanakan sejak Islam permulaan hingga
sekarang.
Pelaksanaannya secara terpimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin, Abu
Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, hingga Ali bin
Abi Thalib. Pada masa Mulkan, baik Adhan maupun Jabbariyah, walaupun
telah bergeser dari sistem Khilafah ke sistem Mulkan, tetapi sentral
pengambilan keputusan Ru’yatul Hilal oleh pimpinan umat Islam tetap
terjaga. Dan memang penentuan awal Ramadhan merupakan hak dan wewenang
Imaam / Khalifah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya : “Shaumlah kalian dengan melihatnya (bulan) dan berbukalah
kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung
sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
Artinya: “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan
janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (HR. Bukhari
dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
Perbedaan Ru’yatul Hilal
Tentang perbedaan menetapkan tanggal 1 Ramadhan dan Hari Raya
terutama di Indonesia selama ini dianggap tidak menimbulkan masalah yang
terlalu berarti di kalangan masyarakat. Karena umat Islam di Indonesia
selama ini sudah terbiasa dengan penentuan hari raya tersebut.
Para ulama mujtahidin memang berbeda pendapat dalam hal mengamalkan
satu ru’yat yang sama untuk menentukan tanggal Ramadhan dan hari raya.
Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat
masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali
menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh
kaum muslimin. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bumi, maka
ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum muslimin sedunia, meskipun mereka
sendiri tidak dapat meru’yat.
Namun kalau umat Islam kembali pada tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, insya Allah perbedaan itu tidak terjadi.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya : “Berpuasalah kalian dengan melihatnya (bulan) dan
berbukalah kalian dengan melihatnya (bulan), maka bila tertutup mendung
sempurnakanlah Sya’ban menjadi tiga puluh hari”. (HR. Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
Artinya: “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal dan
janganlah berbuka (idul fitri) hingga melihatnya (hilal), (H.R. Bukhari
dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu).
Itu perintah kepada seluruh umat Islam (dhamirnya jamak) dalam
memulai dan mengakhiri shaum Ramadhan, siapapun umat Islam dari seluruh
dunia bisa melihatnya. Manusia tidak bisa memutlakkan bulan itu harus
tampak di Indonesia. Wewenang Allah dengan segala kemahakuasaannya
menampakkan bulan itu di ujung belantara Afrika, di padang Saudi Arabia,
di Samudera Antartika, atau di sudut ufuk manapun di belahan dunia ini.
Sesuai kehendak-Nya.
Komentar
Posting Komentar